Agama dan Masyarakat
·
Fungsi Agama
Ada
tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama
dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga
aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat
diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi
lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan
adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan
pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu
hingga sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan
sejumlah fungsi.
Manusia
yang berbudaya, menganut berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola
mempengaruhi perilaku, bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi
di mana peranan dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan
penampilan, tapi yang bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu
sendiri.
Teori
fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan
sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga
sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai
duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi
transdental.
Aksioma
teori di atas adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan
sendirinya. Teori tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang
mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar dari karakteristik eksistensi
manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian
juga hal penting bagi keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan
manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan
mempengaruhi kondisi hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan
timbul konflik antara kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh
ketidakberdayaan. Ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi
yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi,
seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama
dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur
tersebut.
Fungsi agama terhadap pemeliharaan masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat.
Contohnya adalaha sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber
kebudayaan suatu sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar
manusia, bahwa mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial
mereka untuk membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya
persetujuan dan kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat,
atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat
sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu
mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat
duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial
adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia
akan membutuhkan suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan
aktifitasnya dalam masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir
pengembangan kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya
“moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup
adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk
mencapai tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah
fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama.
Menurut
Roland Robertson (1984), dimensi komitmen agama diklasifikasikan menjadi :
a.Dimensi
keyakinan mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan
menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran
ajaran-ajaran tertentu.
b.Praktek
agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk
melaksanakan komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan
dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan
mulia, berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif
spontan.
c.Dimensi
pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan
tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan
dengan suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
d.Dimensi
pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius
akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e.Dimensi
konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan
pembentukan citra pribadinya.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama.
Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan
pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat
sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya,
sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan
agama.
Umumnya,
Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan
bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
Hal
itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler mampu mempertahankan
ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan institusional apabila
pengaruh agama sudah berkurang.
Sumber: http://karinarisaf.blogspot.com/2011/01/agama-dan-masyarakat.html
·
Pelembagaan Agama
Di kehidupan bermasyarakat, lembaga agama tentu
memiliki peran yang sangat penting. Ironisnya, peran lembaga agama tersebut
sering tidak kita sadari. Untuk itu penting bagi kita mempelajari sedikit
banyak mengenai lembaga agama di Indonesia ini. Pertama-tama, apakah lembaga
keagamaan itu?
Lembaga keagamaan
adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan maksud untuk
memajukan kepentingan keagamaan umat yang bersangkutan di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup keagamaan masing-masing umat beragama.
Bagaimana proses terbentuknya lembaga agama?
Lembaga
agama terbentuk karena persetujuan /kesadaran diantara orang-orang yang beragama
merasakan perlunya menjaga keutuhan agama dalam kaidah dan keyakinannya agar
semakin mempermudahkan orang beragama dalam kehidupan iman yang dipercayainya.
Apa
saja lembaga keagamaan di Indonesia?
a.
Islam
: Majelis Ulama Indonesia (MUI)
b.
Kristen :
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI)
c.
Katolik :
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
d.
Hindu
: Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
e.
Budha :
Perwakilan Umat Buhda Indonesia (WALUBI)
Kemudian, apa
fungsi lembaga keagamaan?
Lembaga
keagamaan yang ada di Indonesia pada umumnya berfungsi sebagai berikut:
a.
Tempat untuk
membahas dan menyelesaikan segala masalah yang menyangkut keagamaan.
b.
Memelihara dan
meningkatkan kualitas kehidupan beragama umat yang bersangkutan.
c.
Memelihara dan
meningkatkan kerukunan hidup antar umat yang bersangkutan.
d.
Mewakili umat
dalam berdialog dan mengembangkan sikap saling menghormati serta kerjasama
dengan umat beragama lain.
e.
Menyalurkan
aspirasi umat kepada pemerintah dan menyebarluaskan kebijakan pemerintah kepada
umat.
f.
Wahana
silaturrahmi yang dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
Sumber: http://informatikainformatika.blogspot.com/2011/01/pelembagaan-agama.html
·
Agama, Konflik,
dan Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Sumber: http://herisantoso89.blogspot.com/2010/10/agama-konflik-dan-masyarakat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar